Selasa, 29 Maret 2011

Teori Kritik Sastra Feminis


Teori Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra
yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai
penjuru dunia. Kritik sastra feminisme merupakan aliran baru dalam
sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan dengan kesadaran perempuan akan
haknya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat
perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat lakilaki.
Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini
mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan
peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan,
maka muncullah istilah equal right's movement atau gerakan persamaan
hak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan
domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering
dinamakan women's liberation movement, disingkat women's lib atau
women's emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan wanita
(Saraswati, 2003: 156).
Kritik sastra feminisme berawal dari hasrat para feminis untuk
mengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk
menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang
menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan,
disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan
(Djajanegara, 2000: 27). Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagai
ragam cara mengkritik yang kadang-kadang berpadu. Misalnya, dalam
meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita, perhatian
dipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanan-tekanan yang
diderita tokoh wanita. Oleh karena telah menyerap nilai-nilai patriarkal,
mungkin saja seorang penulis wanita menciptakan tokoh-tokoh wanita
dengan stereotip yang memenuhi persyaratan masyarakat patiarkal.
Sebaliknya, kajian tentang wanita dalam tulisan laki-laki dapat saja
menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru
mendukung nilai-nilai feminis. Di samping itu, kedua hasrat pengkritik
sastra feminis memiliki kesamaan dalam hal kanon sastra. Kedua-duanya
menyangsikan keabsahan kanon sastra lama, bukan saja karena
menyajikan tokoh-tokoh wanita stereotip dan menunjukkan rasa benci dan
curiga terhadap wanita, tetapi juga karena diabaikannya tulisan-tulisan
mereka.
Adapun jenis-jenis kritik sastra feminis yang berkembang di
masyarakat adalah :
a. Kritik Ideologis
Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum
feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca
adalah citra serta stereotipe seorang wanita dalam karya sastra. Kritik
ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab
mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan.
b. Kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita
Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra
wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di
samping itu, dikaji juga kreativitas penulis wanita, profesi penulis
wanita sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan
tradisi penulis wanita.
c. Kritik sastra feminis sosialis
Kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang
sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba
mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat
yang tertindas.
d. Kritik sastra feminis-psikoanalistik
Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para
feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan
dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita,
sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin
penciptanya.
e. Kritik feminis lesbian
Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam
kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa factor, yaitu kaum
feminis kurang menyukai kelompok wanita homoseksual, kurangnya
jurnal-jurnal wanita yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri
belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme, kaum
lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya tujuan
kritik sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan
suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian
pengkritik sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat
diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya.
f. Kritik feminis ras atau etnik
Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis
etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon
sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik ini beranjak dari
diskriminasi ras yang dialami kaum wanita yang berkulit selain putih
di Amerika (Saraswati, 2003: 156).
Kajian sastra feminis mempunyai dua fokus. Pertama, menggali,
mengkaji serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa silam.
Mereka mempertanyakan tolok ukur apa saja yang dipakai pengkritik
sastra terdahulu sehingga kanon sastra didominasi penulis laki-laki.
Tujuan kedua mengkaji karya-karya tersebut dengan pendekatan feminis.
Ketiga, pengkritik sastra feminis terutama berhasrat mengetahui
bagaimana cara menerapkan penilaian estetik, di mana letak nilai
estetiknya serta apakah nilai estetik yang telah dilakukan sungguhsungguh
sah. Singkatnya menilai tolok ukur yang digunakan untuk
menentukan cara-cara penilaian lama.
Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang
dikehendaki pengkritik sastra feminis adalah hak yang sama untuk
mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks
lama.
Pendekatan feminisme adalah pendekatan terhadap karya sastra
dengan fokus perhatian pada relasi jender yang timpang dan
mempromosikan pada tataran yang seimbang antar laki-laki dan
perempuan (Djajanegara, 2000: 27). Feminisme bukan merupakan
pemberontakan kaum wanita kepada laki-laki, upaya melawan pranata
sosial, seperti institusi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan
upaya wanita untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai
upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih,
2000: 5). Feminisme muncul akibat dari adanya prasangka jender yang
menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki
berbeda dengan perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan.
Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria sosial budaya. Asumsi
tersebut membuat kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di
semua aspek kehidupan dengan tujuan agar kaum perempuan
mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki.

2 komentar: