Selasa, 29 Maret 2011

JAKA POLENG (LEGENDA KOTA BREBES)


JAKA POLENG
(LEGENDA KOTA BREBES)
Narasumber   : Bapak. Sastro Sumitro
Laksito adalah seorang pemuda tampan dan berbadan tegap. Dia bekerja sebagai tukang pelihara kuda milik Bupati Brebes. Kanjeng Bupati suka akan hasil kerja Laksito yang rajin dan selalu bersih.
Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa Laksito pergi ke sawah untuk mencari rumput.
“Bi…nyong ning sawah ndisit! (Bi…saya ke sawah dulu!)”. Teriak Laksito berpamitan pada bi Ojah, tukang masak Kanjeng Bupati.
“Ya cah bagus, ati-ati yak…(Ya anak ganteng, hati-hati yah…)”. Jawab Bibi sambil melakukan sesuatu di dapur tanpa menoleh ke Laksito. Sambil membawa arit dan karung, Laksito berjalan menyusuri pematang-pematang sawah mencari rumput-rumput yang lebat dan hijau. Setelah sampai disebuah tanah lapang, dia bergumam.
“Ehm, ning kene kyeeh sukete ijo-ijo nemen, pasti si genta dokoh mangane. (Ehm, di sini niih rumputnya hijau-hijau banget, pasti si genta lahap makannya)”.
Kemudian Laksito mulai mengambil kuda-kuda untuk membabat semua rumput yang ada di depannya. Sesekali Laksito mengusap keringat yang ada di dahi dengan punggung tangannya. Dia terus membabat rumput tanpa kenal lelah.
Setelah satu karung sudah penuh, Laksito seperti biasa beristirahat dibawah pohon yang rindang. Ditenggaknya air kendi yang dibawa dari rumah. Keringat bercucuran membasahi raut muka dan tubuhnya. Laksito setengah berbaring sambil mengipas-ngipaskan sebatang daun yang jatuh dari pohon.
Saat Laksito hendak memejamkan mata, dia melihat ada seekor ular poleng dengan bermahkota intan. Laksito jadi penasaran untuk mengikuti ular tersebut. Laksito berjalan pelan-pelan agar tidak terlihat oleh ular tersebut. Ular tersebut kemudian berhenti disebuah semak-semak. Laksito ikut berhenti. Matanya sangat serius memandangi ular poleng yang sedang melakukan pelepasan kulit.
Setelah beberapa menit, ular tersebut berhasil melepaskan kulit. Laksito mendekati tempat tersebut setelah ular itu pergi. Kemudian Laksito mengambil bekas kulit ular poleng itu. Laksito kembali ke tempat semula untuk melanjutkan pekerjaannya. Dua karung harus ia penuhi.
“Uhh, akhire kebek juga, balik ah, wis ngelih (Uhh, akhirnya penuh juga, pulang ah, sudah lapar).” Gumam Laksito sembari mengikat kedua karung yang berisi rumput tersebut.
Laksito beristirahat sebentar, kemudian pulang.
……………………ooo…………………….
“Bi, aku ngelih bi, pan mangan (Bi, aku lapar bi, mau makan)” Seru Laksito.
“Lho To, kowen ning ndi! (Lho To, kamu di mana!)”. Teriak Bi Ojah karena terkejut.
“Nyong neng iringane Bibi! (Saya di samping Bibi!)” Kata Laksito heran.
“Aja guyon toh To… Bibi mboten weruh kowe neng kene…(Jangan bercanda dong To…Bibi tidak melihat kamu ada di sini)”. Kata bibi agak ketakutan.
“ Nyong neng kene Bi..(Aku di sini Bi…)”. Kata Laksito dengan memegang tangan Bibi Ojah. Bibi Ojah kaget buka kepalang ketika dia merasakan ada tangan yang memegang tangannya tapi tidak terlihat. Bi Ojah langsung teriak masuk ke padepokan Kanjeng Bupati untuk mengadu.
Selang beberapa menit, Bi Ojah kembali ke dapur bersama Kanjeng Bupati.
“Neng endi Bi…?” (di mana bi…). Tanya Kanjeng Bupati penasaran atas cerita Bi Ojah.
“Ampun Kanjeng, suarane neng kene Gusti.” (Ampun Kanjeng, suaranya tadi di sini). Bi Ojah mencoba meyakinkan Kanjeng Bupati.
“Laksito! Kowen neng ndi?” (Laksito! Kamu di mana?). Teriak Kanjeng Bupati.
“Ampun Gusti Kanjeng, hamba neng kene, neng iringane Gusti.” (Ampun Tuan, saya di sini, di samping tuan). Jawab Laksito.
“Lho lho lho, ko kowen ora katon?” (Lho lho lho, kok kamu tidak kelihatan?) seru Kanjeng terperanjat sangat terkejut.
“Ampun Gusti, hamba ora ngerti ”.( Ampun Gusti, hamba tidak mengerti) Jawab Laksito bingung.
Sejenak Kanjeng Gusti Bupati merenung dan kemudian bertanya pada Laksito.
“ana kejadian apa sing kowen alami sedurung kyeeh?”.( ada kejadian apa yang kamu alami sebelum ini?) Tanya Gusti Bupati. Laksito terdiam sejenak mencoba berfikir.
“Oh iya Gusti, tadi , sewaktu hamba mencari rumput di sawah, hamba melihat ular poleng yang kepalanya ada  intan mengkilat  akan nglungsumi (berganti kulit). Lalu  hamba meperhatikan dan hamba mengambil kulit ular poleng tersebut”. Cerita Laksito atas kejadian tadi di sawah.
“Oh…seperti itu, lalu kulit ular poleng itu sekarang dimana?” Tanya Gusti Kanjeng.
“Di saku hamba”. Jawab Laksito.
“Coba kamu keluarkan kemudian di taruh diatas meja”. Pinta Gusti.
“Iya Gusti.” Laksito menuruti.
Benar juga, setelah kulit tersebut dikeluarkan dan diletakkan di meja, seketika tubuh Laksito terlihat. Ini membuat Bi Ojah yang sedari tadi diam, langsung terperanjat.
“Wah Laksito, kowen wis katon ( Wah Laksito, kamu sudah kelihatan)”. Teriak Bi Ojah.
Laksito tersenyum lega. Kanjeng Gusti Bupati mengangguk mengerti.
“To, kulit ular itu aku simpan”. Kata Gusti sambil telunjuknya menunjuk kulit ular tersebut memberi isyarat kepada Laksito untuk diambilkan dan kemudian diserahkan ke Gusti Bupati.
Dengan halus Laksito menolaknya.
“Ampun Gusti, kulit ular ini punya hamba”.
“Untuk apa  To, tidak ada gunanaya kulit ular itu digunakan kamu.” Bujuk Gusti Bupati.
“Ampun Gusti, karena yang menemukan kulit ular ini aku, jadi aku yang lebih berhak memiliki benda ini ”. Jawab Laksito.
“Tidak ada gunanya sama kamu, cepat berikan  kepadaku !”. Teriak Gusti memaksa Laksito.
“Ampun Gusti, hamba tidak bisa”. Kekeh Laksito.
Kemudian terjadilah perebutan antara Gusti Bupati dan Laksito. Karena Laksito takut benda itu akan jatuh ke tangan Gusti Bupati, Laksito buru-buru memasukkan benda itu ke dalam mulutnya, dan tanpa disengaja benda tersebut tertelan.
Gusti Bupati hanya bisa menahan emosinya, saat melihat benda itu tertelan. Perlahan-lahan tubuh Laksito menghilang.
“Maafkan hamba Gusti, hamba sudah berani melawan dengan  Gusti”. Kata Laksito lirih.
Bupati menghela nafas panjang.
“Aku menyesal  sudah memaksa kamu Laksito, sebenarnya itu memang haknya kamu Laksito,  tapi aku memaksa, jadi akhirnya seperti ini, aku menyesal, maafkan aku Laksito.”Sesal Gusti Bupati.
Lalu Gusti Bupati melanjutkan perkataannya; “Ini mungkin sudah takdirnya kamu Laksito, kamu wujudnya sudah tidak ada. Aku minta sama kamu, tolong kamu jaga rakyatku, yaitu rakyat Brebes. Karena kamu masih Jejaka dan telah memakan kulit ular poleng, jadi sekarang kamu saya namakan Jaka Poleng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar