Senin, 14 Maret 2011

‟Poligami Islam dalam novel Ayat-ayat cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy sebuah Kajian Intertekstual”


A.   PENDAHULUAN
1.    Latar belakang
Karya sastra yang hadir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil ciptaan manusia yang mengandung daya imajinasi. Menurut Wellek dan Warren (dalam Budianta, 1993: 14), bahasa adalah bahan baku kasusastraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat pada lukisan, dan bunyi untuk seni musik, sehingga diperlukan bahasa sebagai media penyampaiannya. Karya sastra merupakan karangan fiksi yang menceritakan berbagai kehidupan manusia yang berada di tengah masyarakat. Jadi, bahasa dan karya sastra serangkaian bentuk yang tidak dapat dipisahkan.
Karya sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi, intuisi, dan abstraksi kehidupan (Culler, dalam Suwondo, 2003:6). Pembaca ketika ingin memahami sebuah karya sastra diperlukan daya khayal, pemahaman, dan gambaran mengenai suatu kehidupan. Imajinasi merupakan kekhususan dalam karya sastra. Maksudnya, adalah karya sastra mampu membukakan imaji-imaji setiap pembaca. Karya sastra jika dilihat dari bentuknya dibagi menjadi tiga yaitu, drama, puisi, dan prosa. Prosa dibagi kedalam tiga kategori yaitu prosa lama, prosa peralihan, dan prosa modern. Prosa lama seperti dongeng, legenda, dan mithe. Prosa peralihan seperti biografi, otobiografi, riwayat perjalanan dan hikayat, Sedangkan prosa baru yaitu roman, novel, cerpen, dan prosa liris.
Karya sastra tidak bersifat  otonom. Untuk itu, diperlukan pendekatan intertekstual dengan cara mensejajarkan dengan teks sebelumnya. Otonomi sastra mengacu pada keselarasan yang mendalam bentuk dan isi. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan karya sastra lain disebut hipogram, Sedangkan transformasi adalah teks atau karya sastra yang lahir berikutnya. Wujud hipogram dapat berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutar balikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya (Teeuw dalam Nurgiantoro, 1994:5).
Adanya karya-karya yang mentranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama dalam kajian intertekstual, misalnya melalui pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya yang lain yang diduga menjadi hipogramnya. Hal ini mungkin juga didasari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya sastra menjadi hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya menolak konvensi yang berlaku sebelumnya.
Hubungan yang berwujud meneruskan atau yang sering disebut ekspansi dalam istilah kesusastraan itulah yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Novel Ayat-ayat cinta yaitu bahwa pangarang satu yang disini yaitu Abidah El Khaieqy sebagai pengarang novel Perempuan Berkalung Sorban terinspirasi dengan pengarang Habiburrahman El Shirazy sebagai pengarang Novel Ayat-ayat cinta hal itu dituangkan Abidah dalam novelnya dengan sama-sama mengambil tema poligami di dalam karangannya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis ingin mengetahui lebih dalam lagi bagaimana perluasan serta pengembangan ide dari pengarang novel ayat-ayat cinta di dalam novel perempuan berkalung sorban sehingga penulis mengambil judul ‟Poligami Islam dalam novel Ayat-ayat cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy sebuah Kajian Intertekstual”.
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskansebagai berikut.
a.    Bagaimanakah Poligami Islam dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Zhirazy dengan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaleiqy?
b.    Bagaimanakah hubungan intertekstual tokoh utama dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Zhirazy dengan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaleiqy?
c.    Bagaimanakah hubungan intertekstual latar dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Zhirazy dengan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaleiqy?
3.    Tujuan Masalah
a.    Untuk mengetahui pandangan Poligami Islam dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Zhirazy dengan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaleiqy.
b.    Untuk mengetahui hubungan intertekstual tokoh utama dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Zhirazy dengan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaleiqy.
c.    Untuk mengetahui hubungan intertekstual latar dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Zhirazy dengan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaleiqy.

B.   KAJIAN PUSTAKA
1.    Kerangka Teori
a.    Novel
Novel adalah karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat-sifat pelaku (KBBI:1998:618).
Novel (Inggris:novel) merupakan bentuk karya sasra yang sekaligus disebut fiksi. Sebutan novel dalam bahasa inggris inilah yang kemudian masuk ke indonesia. Berasal dari bahasa Italia, novela (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah vovella, berarti “sebuah barang yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”. (Abrams dalam Nurgiantoro, 1994: 9).
b.    Intertekstual
Menurut Kristeva (Teeuw, 1988 : 145) intertekstual berarti bahwa setiap teks sastra  dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang tek-teks lain. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya.
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks kesastraan yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan diantara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul kemudian.
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan atau pemunnculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur sejarahnya, sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu  (Teeuw, dalam Nurgiantoro 2005:50).
Menurut Kristeva, (Teeuw 2003:121) bahwa setiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudaian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks sebelumnya yang kemudian diolah dalam karya sastra sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian walau sebuah karya berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreatifitas sendiri, dengan konsep estetika dan pihak-pihaknya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya.
Teks tranformasi adalah teks baru atau teks yang menyerap dan menstransformasikan hipogram. Hipogram adalah karya sastra yang menjadi dasar penulisan bagi karya baru (Riffatere dalam Nurgiyantoro 2005:51) hal ini mungkin juga didasarkan oleh pengarang. Kasadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramya. Mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan atau sebaliknya menolak konvensi yang berlau sebelumnya.
Hubungan intertekstual dapat terjadi karena karya satu dengan karya yang lainnya mungkin sama unsur intrinsiknya, misalnya peristiwa cerita, alur, dan latar. Dalam penelitian ini hubungan intertekstual yang ada adalah bagaimana kedua pengarang mengambil tema penulisan yang sama yaitu Poligami yang dalam penulisannya pengarang satu dengan yang lainnya memiliki persepsi atau pandangan yang berbeda mengenai poligami. Abidah memandang poligami di dalam lingkungan pesantren. Hal itu dilakukan karena sebelumnya ia terinspirasi dengan tema poligami yang telah ditulis terlebih dahulu oleh Habiburrahman dalam karangannya yang berjudul Ayat-ayat Cinta.
c.    Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Tema selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan,  seperti masalah cinta, kasih, dan rindu. Tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita (Nurgiyantoro, 2005: 25).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.
d.    Tokoh dan penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan satu kesatuan yang berbeda. Tokoh lebih merujuk pada pelaku atau orang yang terlibat dalam cerita, sedangkan penokohan mengacu pada penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Tokoh merupakan kenyataan fisik yang kasat mata sedangkan penokohan menggambarkan pribadi tokoh yang sering dinilai orang lain dan bersifat abstrak.
Tokoh cerita menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2005:165) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang olah pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan cenderung tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Menurut Jones (Nurgiyantoro, 2005 :165) Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Artinya, dengan karakter dan perwatakan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.
Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh-tokoh baik mengenai keadaan lahir maupun batin yang dapat berupa: pandangan hidup, sikap, keyakinan, dan adat-istiadat. Jadi, berdasarkan pendapat ini penokohan sama dengan perwatakan.
e.    Tokoh utama
Menurut Nurgiantoro, (2007, 176-177) tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
f.     Latar
Menurut Abrams ( dalam Nurgiantoro 2007: 216) latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton (1965) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Unsur latar
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataanya saling berkaitan dan saling mempengarauhi satu dengan yang lainnya.
1)    Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakn dalam sebuah karya fiksi.
2)    Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
3)     Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam melingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya.  Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, dan atas (Nurgiantoro, 2007: 233-234).
g.    Poligami di dalam Agama Islam
Kesempurnaan Islam adalah suatu yang wajib diimani seorang muslim. Karena syari’at Islam telah mengatur semua sisi kehidupan manusia menuju kebahagian hakiki. Dengan ajaran Islam, maka seorang muslim dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Allah SWT berfirman
Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [Al Baqarah (2) :38]
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan kepada seluruth manusia yang mau mengikuti dan menjalankan petunjuk ajaran Rasululllah saw. Oleh karena itu, semua permasalahan hidup, sudah seharusnya dikembalikan kepada syari’at Islam, yang merupakan petunjuk Allah. Begitupula dalam masalah poligami, semestinya dikembalikan kepada petunjuk dan syari’at Allah. Dan seorang muslim dilarang memilih ketentuan dan hokum yang menyelisih syari’at Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [Al Ahzab (33):36]
Islam Memandang Poligami
Menilik al-Quran dan as-Sunnah dalam menyebutkan dalam menyebutkan tentang hokum poligami, maka didapatkan, bahwa berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu. Dalam firman-Nya, Allah telah menyatakan:Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [An Nisaa (4): 3]
Dalam ayat ini Allah berbicara kepada para pengasuh (wali) anak-anak yatim, bila anak yatim berada dalam pengasuhan dan tanggung jawab salah seorang kalian, dan ia khawatir tidak dapat memberinya mahar yang cukup, maka hendaknya beralih kepada wanita yang lainnya, karena wanita itu banyak. Allah tidak membuatnya sempit, karena menghalalkan untuknya sampai empat wanita. Apabila khawatir berbuat zalim bila menikahi lebih dari satu wanita, maka wajib baginya untuk mencukupkan satu saja, atau mengambil budak-budak wanitanya.
Dengan izin Allah, Rasulullah saw sendiri telah menikahi sembilan wanita selama hidupnya. Sebagaimana nampak dari sebuah hadis yang diberitakan Anas bin Malik ra:
Sungguh Nabi saw pernah mengelilingi (menggilir) isteri-isterinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri. [HR al Bukhari, no. 5068 dan an-Nasaa-i, 6/54]
Juga nampak dalam perkataan Ibnu ‘Abbas kepada Sa’id Jubair:
“Apakah kamu telah menikah?” Sa’id menjawab,”Belum,”lalu beliau bekata,”Menikahlah! Karena orang terbaik ummat ini paling banyak isterinya.”[HR al Bukhari no. 5069]
Dalam kalimat “orang terbaik ummat”, terdapat dua pengertian. Pertama, yang dimaksudkan ialah Rasulullah saw. Sehingga memiliki pengertian, bahwa Rasulullah saw orang terbaik dari ummat ini adalah orang yang paling banyak isterinya. Kedua, yang dimaksud dengan “yang terbaik dari ummat ini” dalam pernikahan, yaitu yang paling banyak isterinya.
Syaikh Mushthafa al’Adawi berkata,”Semuanya mempunyai dasar dan menunjukkan pengertian yang sama, yang menjadi dasar pendapat ulama yang menyatakan sunnahnya berpoligami”.
Landasan lain yang menunjukkan poligami merupakan sunnah, juga didapatkan dengan merujuk kepada hadis-hadis yang menganjurkan agar kaum Muslim memiliki banyak anak.
Diantara hadis-hadis tersebut ialah:
Dari Ma’qil bin Yasar, beliau berkata: Seseorang datang menemui nabi saw dan berkata: “Aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki martabat dan cantik, namun ia mandul. Apakah aku boleh menikahinya?” Beliau menjawab:”Jangan!” Lali ia mendatangi beliau kedua kalinya, dan belia melarangnya. Kemudian datang ketiga kalinya, dan berliau berkata:”Nikahilah wanita yang baik dan subur, karena aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian terhadap ummat-ummat lainnya”.[HR Abu Dawud no. 2050, dan Syaikh al Albani berkata: “Hadis hasan Sahih”. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud]
Tentang hadis di atas, Syaikh Musthafa al’Adawi menjelaskan:”Menikah banyak, dengan izin Allah dapat memperbanyak kelahiran. Dan banyaknya kelahiran, dapat menyebabkan takatsur (bangga dengan banyaknya jumlah). Dengan demikian, wanita yang subur juga dinasehati bila mengetahui seorang laki-laki (yang melamarnya) itu mandul, maka jangan menikah dengannya. Kemudian larangan (dalam hadis) ini bersifat makruh, bukan pengharaman. Karena Nabi saw mempertahankan para isterinya yang tidak melahirkan anak kecuali Khadidjah dan Mariyah”.

C.   HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.    Sinopsis
a.    Ayat – ayat cinta
Novel ayat-ayat cinta mengisahkan seorang pemuda bernama Fahri, seorang mahasiswa asal Indonesia yang melanjutkan studinya di Kairo di universitas Al-azhar. Pada waktu itu, si pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq, sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi (belajar secara face to face pada seorang syaikh) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang Syaikh yang cukup tersohor di seantero Mesir. kepadanya Fahri belajar tentang qiraah Sab’ah (membaca Al-Qur’an dengan riwayat tujuh imam) dan ushul tafsir (ilmu tafsir paling pokok). Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap dua kali seminggu, setiap hari Ahad/Minggu dan Rabu. Dia sama sekali tidak pernah melewatkannya walau suhu udara panas menyengat dan badai debu sekalipun. Karena baginya itu merupakan suatu kewajiban karena tidak semua orang bisa belajar pada Syaikh Utsman yang sangat selektif dalam memilih murid dan dia termasuk salah seorang yang beruntung.
Di dalam metro, Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak mau dia harus berdiri sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian ia berkenalan dengan seorang pemuda mesir bernama Ashraf yang juga seorang Muslim. Mereka bercerita tentang banyak hal, termasuk tentang kebencian Ashraf kepada Amerika. Tak berapa lama kemudian, ada tiga orang bule yang berkewarganegaraan Amerika (dua perempuan dan satu laki-laki) naik ke dalam metro. Satu diantara dua perempuan itu adalah seorang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah. Biasanya orang Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada wanita yang tidak mendapatkan tempat duduk, namun kali ini tidak. Mungkin karena kebencian mereka yang teramat sangat kepada Amerika. Sampai pada suatu saat, ketika si nenek hendak duduk menggelosor di lantai, ada seorang perempuan bercadar putih bersih yang sebelumnya dipersilahkan Fahri untuk duduk di bangku kosong yang sebenarnya bisa didudukinya, memberikan kursinya untuk nenek tersebut dan meminta maaf atas perlakuan orang-orang Mesir lainnya. Disinilah awal perdebatan itu terjadi. Orang-orang Mesir yang kebetulan mengerti bahasa Inggris merasa tersinggung dengan ucapan si gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai umpatan dan makian kepada sang gadis, dan ia pun hanya bisa menangis. Kemudian Fahri berusaha untuk meredakan perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat Nabi karena biasannya dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh kemarahannya dan ternyata berhasil. Lalu ia mencoba menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar, dan umpatan-umpatan itu tidak layak untuk dilontarkan. Namun apa yang terjadi, orang-orang Mesir itu kembali marah dan meminta Fahri untuk tidak ikut campur dan jangan sok alim karena mereka berpendapat bahwa Fahri pun belum tentu hafal juz Amma. Kemudian emosi mereka mereda ketika Ashraf yang juga ikut memaki perempuan bercadar itu, mengatakan bahwa Fahri adalah mahasiswa Al-Azhar dan hafal Al-Qur’an dan juga murid dari Syaikh Utsman yang terkenal itu. Lantas orang-orang Mesir itu meminta maaf pada Fahri. Fahri kemudian menjelaskan bahwasanya mereka tidak seharusnya bertindak seperti itu karena ajaran Baginda Nabi tidak seperti itu. Lalu ia pun menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap kepada tamu apalagi orang asing sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Mereka pun mengucapkan terima kasih pada Fahri karena sudah megingatkan mereka. Sementara itu, si bule perempuan muda, Alicia, sedang mendengarkan penjelasan tentang apa yang terjadi dari si perempuan bercadar dengan bahasa Inggris yang fasih. Kemudian Alicia berterima kasih dan menyerahkan kartu namanya pada Fahri. Tak berapa lama kemudian metro berhenti dan perempuan bercadar itu pun bersiap untuk turun. Sebelum turun ia mengucapkan terima kasih pada Fahri karena sudah menolongnya tadi. Akhirnya mereka pun berkenalan dan ternyata si gadis itu bukanlah orang Mesir melainkan gadis asal Jerman yang sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.
Di Mesir, Fahri tinggal bersama dengan keempat orang temannya yang juga berasal dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah. Fahri sudah tujuh tahun hidup di Mesir. Mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana yang mempunyai dua lantai, dimana lantai dasar menjadi tempat tinggal Fahri dan empat temannya, sedangkan yang lantai atas ditempati oleh sebuah keluarga Kristen Koptik yang sekaligus menjadi tetangga mereka. Keluarga ini terdiri dari Tuan Boutros, Madame Nahed, dan dua orang anak mereka – Maria dan Yousef. Walau keyakinan dan aqidah mereka berbeda, namun antara keluarga Fahri (Fahri dkk) dan keluarga Boutros terjalin hubungan yang sangat baik. Di Mesir, bukanlah suatu keanehan apabila keluarga Kristen koptik dan keluarga Muslim dapat hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat. Keluarga ini sangat akrab dengan Fahri terutama Maria. Maria adalah seorang gadis Mesir yang manis dan baik budi pekertinya. Kendati demikian, Fahri menyebutnya sebagai gadis koptik yang aneh, karena walaupun Maria itu seorang non-muslim ia mampu menghafal dua surah yang ada dalam Al-Quran dengan baik yang belum tentu seorang Muslim mampu melakukannya. Ia hafal surat Al-Maidah dan surah Maryam. Fahri juga baru mengetahuinya ketika mereka secara tak sengaja bertemu di metro. Seluruh anggota keluarga Boutros sangat baik kepada Fahri dan teman-temannya. Bahkan ketika Fahri jatuh sakit pun keluarga ini jugalah yang membantu membawa ke rumah sakit dan merawatnya selain keempat orang teman Fahri. Apalagi Maria, dia sangat memperhatikan kesehatan Fahri. Keluarga ini juga tidak segan-segan mengajak Fahri dan teman-temannya untuk makan di restoran berbintang di tepi sungai Nil, kebanggaan kota Mesir, sebagai balasan atas kado yang mereka berikan. Pada waktu itu Madame Nahed berulang-tahun dan malam sebelumnya Fahri dan teman-temannya memberikan kado untuknya hanya karena ingin menyenangkan hati beliau karena bagi Fahri menyenangkan hati orang lain adalah wajib hukumnya. Setelah makan malam, tuan dan nyonya Boutros ingin berdansa sejenak. Madame Nahed meminta Fahri untuk mengajak Maria berdansa karena Maria tidak pernah mau di ajak berdansa. Setelah tuan dan nyonya Boutros melangkah ke lantai dansa dan terhanyut dengan alunan musik yang syahdu, Maria pun memberanikan diri mengajak Fahri untuk berdansa, namun Fahri menolaknya dengan alasan Maria bukan mahramnya kemudian menjelaskannya dengan lebih detail. Begitulah Fahri, ia selalu berusaha untuk menjunjung tinggi ajaran agama yang dianutnya dan selalu menerapkannya dalm kehidupan sehari-hari.
Selain bertetangga dengan keluarga Boutros, Fahri juga mempunyai tetangga lain berkulit hitam yang perangainya berbanding 180 derajat dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini bernama Bahadur yang terkenal dengan julukan si Muka Dingin karena ia selalu berperangai kasar kepada siapa saja bahkan dengan istrinya madame Syaima dan putri bungsunya Noura. Bahadur dan istrinya mempunyai tiga orang putri, Mona, Suzanna, dan Noura. Mona dan Suzanna berkulit hitam namun tidak halnya dengan Noura, dia berkulit putih dan berambut pirang. Hal inilah ang membuat Noura dimusuhi keluarganya yang pada akhirnya membuat dirinya tercebur kedalam penderitaan yang amat sangat. Bahadur mempunyai watak yang keras dan bicaranya sangat kasar, Nouralah yang selalu menjadi sasaran kemarahannya. Dan kedua orang saudaranya yang juga tidak menyukai Noura mengambil kesempatan ini untuk ikut-ikutan memaki dirinya. Sampai tibalah pada suatu malam yang tragis dimana Bahadur menyeret Noura ke jalanan dan punggungnya penuh dengan luka cambukan. Hal ini sudah sering terjadi, namun malam itu yang terparah. Tak ada satu orang pun yang berani menolong. Selain hari sudah larut, Bahadur juga dikenal amat kejam. Akhirnya, karena sudah tak tahan lagi melihat penderitaan Noura, Fahri pun meminta bantuan Maria melalui sms untuk menolong Noura. Awalnya Maria menolak karena tidak mau keluarganya terlibat dengan keluarga Bahadur. Namun setelah Fahri memohon agar Maria mau menolongnya demi kecintaan Maria terhadap Al-Masih, Maria akhirnya luluh juga. Jadilah malam itu Noura menginap di rumah keluarga Boutros. Malam ini jualah yang akhirnya menghantarkan Fahri ke dalam penderitaan yang amat sangat dan juga membuatnya hampir kehilangan kesempatan untuk hidup di dunia fana ini.

b.    Perempuan berkalung sorban
Novel perempuan berkalung sorban adalah sebuah novel yang mengisahkan  pengorbanan seorang perempuan, seorang anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri. Annisa seorang perempuan dengan pendirian kuat, cantik dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah Qur’an, Hadist dan Sunnah.

Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu membuat Annisa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Tapi protes Anissa selalu dianggap sebagai rengekan anak kecil. Hanya Khudori, paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Annisa. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Annisa. Diam-diam Annisa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan, sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo. Annisa yang ingin melanjutkan pendidikannya tidak diijinkan oleh Kyai Hanan, dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Annisa merengek dan protes dengan alasan ayahnya. Tetapi rengekan itu hanya dianggap sambil lalu saja oleh ayahnya.
Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun hati Annisa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Tetapi pernikahan itu tidak membuat Annisa bahagia tetapi sebaliknya ia menderita. Penderitaan itu bertambah ketika Samsudin menikah lagi dengan Kalsum karena Kalsum hamil diluar nikah dengan Samsudin. Berbagai masalah keluarga yang terjadi di dalam kehidupan keluarganya membuat Annisa bercerai dengan Samsudin. Setelah bercerai Annisa memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu Universitas di Yogyakarta. Di Yogyakarta, Annisa dipertemukan lagi dengan Khudori, keduanya masih saling mencintai dan akhirnya mereka pun menikah. Pada akhir cerita Samsudin yang merasa iri dengan Khudori membuat rencana yang licik yakni mencelakakan Khudori yang seolah-olah seperti kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan itulah yang akhirnya membuat Khudori pun meninggal Dunia.

2.    Hasil penelitian dan Pembahasan
a.    Tema
No
Permasalahan
Novel Ayat-ayat Cinta
(Hipogram)
Novel Perempuan Berkalung Sorban (Transformasi)
1

Poligami
-        Pada novel ini pihak perempuan yang meminta laki-laki untuk poligami.
-        Poligami dilakukan tokoh pria atas persetujuan istri.
-        Pada novel ini pihak laki-laki yang meminta untuk poligami.
-        Poligami dilakukan tokoh pria tidak dengan adanya persetujuan dari istri.

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tema yang terkandung di dalam novel Ayat-ayat Cinta dan Novel Perempuan Berkalung Sorban memliki kesamaan tema yaitu sama-sama mengangkat masalah poligami. Tetapi dalam penjabarannya kedua novel tersebut mempunyai versi yang berbeda. Masalah poligami ini dijabarkan pengarang dalam karyanya dengan cara mengembangkan ide yang sudah ada dalam novel Ayat-ayat Cinta sebagai hipogram yang dikembangkan lagi ke dalam novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai teks transformasinya. Perbedaan ini terlihat di dalam novel Ayat-ayat Cinta poligami yang dilakukan oleh Fahri, poligami yang dilakukan Fahri ini dilakukan karena rasa cintanya dengan Aisyah, karena dorongan dari sang istri dan demi membuktikan rasa cintanya kepada istrinya maka permintaan itu pun ia kabulkan. Berbeda dengan novel Perempuan Berkalung Sorban, dalam novel Perempuan Berkalung Sorban poligami yang dilakukan oleh pihak laki-laki yaitu Samsudin itu atas keinginan sendiri karena Kalsum seorang janda yang sedang hamil meminta pertanggungjawaban dari Samsudin yang telah menghamilinya. Poligami yang dilakukan oleh Samsudin ini dilakukan tanpa adanya persetujuan dari istrinya yaitu Annisa. Dari analisis kedua karya sastra tersebut dapat dijelaskan bahwa kedua pengarang tersebut berbeda dalam menguraikan poligami di dalam pandangan islam hal tersebut dipengaruhi oleh sudut pandang masing-masing pengarang berbeda.
b.    Latar
No
Permasalahan
Novel Ayat-ayat Cinta
(Hipogram)
Novel Perempuan Berkalung Sorban (Transformasi)
1
Latar Sosial
-        Tokoh utama sebelum berangkat ke Kairo dibesarkan di lingkungan pesantren.

-        Tokoh utama bertempat tinggal di Kairo.

-        Tokoh utama sebelum melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta dibesarkan di lingkungan pesantren.
-        Tokoh utama bertempat tinggal di Jawa.


Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa latar sosial yang terdapat dalam Novel ayat-ayat Cinta dan Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Persamaam yang terdapat dalam kedua novel tersebut yaitu kedua tokoh utama dalam novel tersebut sama-sama dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang mana dalam lingkungan pesantren itu kedua-duanya sama-sama mendapatkan pendidikan agama yang bagus. Sedangkan perbedaan dalam kedua novel tersebut yaitu walaupun kedua tokoh utamanya sama-sama dibesarkan dilingkungan pesantren tetapi dalam kedudukan status sosial yang berbeda, Fahri sebagai pembantu para santri sedangkan Annisa sebagai anak seorang Kyai pemiliki pesantren.
Perbedaan yang lain yang terdapat dalam kedua novel tersebut yaitu setelah besar Fahri tinggal di kairo untuk melanjutkan pendidikannya yakni kuliah di Universitas Al-azhar. Sementara Annisa dalam novel Perempuan Berkalung Sorban tinggal di jawa dan melanjutkan pendidikannya disalah satu Universitas di Yogyakarta.

c.    Tokoh utama
No
Permasalahan
Novel Ayat-ayat Cinta
(Hipogram)
Novel Perempuan Berkalung Sorban (Transformasi)
1
Tokoh Utama
-        Fahri memiliki istri yang sangat pengertian dan sabar.

-        Sama-sama mencintai orang lain sebelum menikah yaitu disini Fahri mencintai Nurul.

-        Fahri bukan anak kyai.
-        Pernikahan Fahri dengan Aisyah bahagia.
-        Dikaruniai anak pada pernikahan pertama.
-        Annisa memiliki suami yang sangat kejam dan keras kepala.
-        Sama-sama mencintai orang lain sebelum menikah yaitu disini Annisa mencintai Khudori.
-        Annisa  anak kyai.
-        Pernikahan Annisa dengan Samsudin tidak bahagia.
-        Dikaruniai anak pada pernikahan kedua.
2
Perjodohan
-        Fahri dijodohkan dengan Aisyah.
-        Fahri dengan senang hati menerima perjodohan.
-        Anissa dijodohkan dengan Samsudin.
-        Annisa dengan berat hati menerima perjodohan karena dipaksa.

Berdasarkan tabel di atas kita dapat melihat kesamaan tokoh utama yang terdapat dalam novel ayat-ayat cinta dan novel perempuan berkalung sorban. Kesamaanya yaitu kedua tokoh sebelum menikah sama-sama mencintai seseorang. Tokoh Fahri dalam novel ayat-ayat cinta mencintai Nurul, sementara Annisa dalam novel perempuan berkalung sorban mencintai Khudori. Di samping terdapat persamaan juga terdapat perbedaan pada tokoh utama. Pada novel ayat-ayat cinta tokoh utama Fahri memiliki isteri yang sabar dan pengertian, berbeda dengan Annisa dalam novel perempuan berkalung sorban, yang mempunyai suami yang kejam, temperamental dan keras kepala. Sehingga di dalam novel Ayat-ayat Cinta pernikahan Fahri dengan Aisyah berjalan dengan bahagia sedangkan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban penikahan yang dialami oleh tokoh utama yaitu Annisa tidak berjalan dengan bahagia. Perbedaan yang lain yaitu Annisa merupakan anak seorang kyai, sementara Fahri bukan anak seorang Kyai. Selain itu pada novel ayat-ayat cinta tokoh utama dikarunia anak pada pernikahannya yang pertama yaitu dengan Aisyah, sedangkan pada novel perempuan berkalung sorban Annisa dikaruniai anak dari pernikahannya yang kedua yaitu dengan Khudori orang yang sangat dia cintai.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa di dalam kedua novel tersebut yaiu novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy memiliki tiga aspek yang disoroti dan dikembangkan oleh Abidah ke dalam karangannya dari karya sastra yang terlebih dahulu di tulis oleh Habiburrahman El Shirazy. Selain tema yang diangkat dalam kedua novel tersebut sama yaitu masalah poligami, abidah juga mengembangkan aspek yang lain ke dalam karangannya. Aspek lain yang dikembangkan Abidah dalam novelnya yaitu Abidah juga mengembangkan tokoh dan latar belakang yang ada di dalam novel Ayat-ayat Cinta ke dalam dengan cara pandang Abidah terhadap masalah tersebut kedalam karya sastranya. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban merupakan perluasan atau pengembangan karya atau ide dari novel Ayat-ayat Cinta. Perluasan atau pengembangan karya atau ide tersebut di dalam kajian intertekstual sering disebut dengan istilah Ekspansi. Selain itu dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy sebagai karya yang menginspirasi Abidah dalam menciptakan karya barunya, disebut dengan hipogram. Sedangkan novel yang terinspirasi dengan novel ini yaitu novel Ayat-ayat Cinta lazim disebut dengan teks transformasi. Teks transformasi dalam hasil analisis ini adalah novel Perempuan Berkalung Sorban.
Novel Ayat-ayat Cinta sangat berpengaruh pada penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban. Pengaruh yang terlihat begitu jelas dimana Abidah banyak mengadopsi serta mengembangkan ide yang ada di dalam novel Ayat-ayat Cinta ke dalam karangan yang ditulisnya. Pengaruh-pengaruh tersebut dijelaskan dan dijabarkan pengarang berdasarkan sudut pandang kedua pengarang dalam penulisannya. Selain itu berbagai hal yang disoroti penulis telah disampaikan dan dijabarkan dalam hasil dan pembahasan di atas.

D.   PENUTUP
1.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpulan bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban merupakan perluasan dari ide yang terdapat dalam novel Ayat-ayat Cinta. Maka novel Ayat-ayat Cinta disebut dengan hipogram sedangkan novel Perempuan Berkalung Sorban disebut dengan teks transformasi. Perluasan ide atau karya disini meliputi tiga aspek yaitu tema, latar, serta tokoh utama yang dituangkan Abidah ke dalam novelnya yaitu novel Perempuan Berkalung Sorban karena terinspirasi dari novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Oleh karena itu perluasan ide atau karya dari novel Ayat-ayat Cinta ke dalam novel Perempuan Berkalung Sorban di dalam kajian intertekstual lazim disebut dengan istilah Ekspansi.










1 komentar: