Selasa, 29 Maret 2011

Analisis Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy dalam Kajian Feminis Marxis


  1. Pendahuluan
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993: 8). Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya, maka sastra tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide, teori, atau sistem berpikir manusia. Sastra dapat dibahas berdasarkan dua hal, yaitu isi dan bentuk. Dari segi isi, sastra membahas tentang hal yang terkandung di dalamnya, sedangkan bentuk sastra membahas cara penyampaiannya. Ditinjau dari isinya, sastra merupakan karangan fiksi dan non fiksi. Apabila dikaji melalui bentuk atau cara pengungkapannya, sastra dapat dianalisis melalui genre sastra itu sendiri, yaitu puisi, novel, dan drama.
Karya sastra juga digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini merupakan salah satu faktor penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi. Menurut Semi (1993: 8), karya sastra merupakan karya kreatif sehingga sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Di samping itu, sastra juga harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia. Hal ini dikarenakan obyek seni sastra adalah pengalaman hidup manusia terutama menyangkut sosial budaya, kesenian, dan sistem berpikir. 
Karya sastra merupakan gambaran kehidupan hasil rekaan seseorang yang sering kali karya sastra itu menghadirkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap latar belakang dan keyakinan pengarang. Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. 
Perkembangan novel di Indonesia cukup pesat. Hal itu terbukti dengan banyaknya novel-novel baru yang telah diterbitkan. Novel-novel tersebut mempunyai bermacam tema dan isi, antara lain tentang masalah-masalah sosial yang pada umumnya terjadi dalam masyarakat, termasuk yang berhubungan dengan wanita. Sosok wanita sangat menarik untuk dibicarakan. Wanita di wilayah publik cenderung dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk memuaskan koloninya. Wanita telah menjelma menjadi bahan eksploitasi bisnis dan seks. Dengan kata lain, saat ini telah hilang sifat feminis yang dibanggakan dan disanjung bukan saja oleh kaum wanita, namun juga kaum laki-laki. Hal ini sangat menyakitkan apabila wanita hanya menjadi satu segmen bisnis atau pasar (Anshori, 1997: 2).
Menurut Suroso dan Suwardi (1998: 2), sastra Indonesia memandang wanita menjadi dua bagian kategori. Kategori pertama adalah peran wanita dilihat dari segi biologisnya (isteri, ibu, dan objek seks) atau berdasarkan tradisi lingkungan. Kedua, bahwa peranan yang didapat dari kedudukannya sebagai individu dan bukan sebagai pendamping suami. Tokoh wanita seperti kategori kedua di atas, biasanya disebut sebagai perempuan feminis yaitu perempuan yang berusaha mandiri dalam berpikir, bertindak serta menyadari hak-haknya. Perkembangan feminis mempunyai keinginan untuk meningkatkan kedudukan serta derajat kaum wanita agar sama atau sejajar dengan kaum laki-laki.
Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah berusaha mendapatkan hak dan kewajiban yang sejajar dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu, kemudian muncul istilah equal right's movement (gerakan persamaan hak). Cara lainnya adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga, dinamakan dengan women's liberation movement yaitu sebuah gerakan pembebasan  wanita. Pada akhirnya, wanita dapat menunjukkan tokoh-tokoh citra wanita yang kuat dan mendukung nilai-nilai feminisme.
Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy wujud pemberontakan dan penindasan di alam tokoh utama yaitu Anisa. Berdasarkan uraian tersebut penulis ingin mengetahui lebih banyak mengenai penindasan dan bentuk penolakan yang dilakukan oleh tokoh utama. Maka penulis mengambil judul penulisan “Analisis Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy dalam Kajian Feminis Marxis”.

  1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi pustaka. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan teknik catat (Subroto dalam Imron, 2003). Teknik simak adalah dengan membaca karya sastra tersebut kemudian dianalisis. Sedangkan teknik catat adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang terdapat dalam sebuah karya sastra tersebut kemudian ditulis dalam bentuk catatan.
Data yang berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu, setiap penelitian harus memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperoleh. Pengumpulan data dengan benar-benar diperlukan oleh peneliti (HB. Sutopo, 2002: 78). Sumber-sumber tertulis yang digunakan dipilih sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian sastra, dalam hal ini ditinjau dari segi sastra feminis.
 Teknik simak dan catat merupakan instrumen kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer, yaitu karya sastra sebagai sasaran penelitian yang berupa teks novel Perempuan Kembang Jepun untuk memperoleh data yang diinginkan. Adapun data sekunder adalah buku-buku, artikel, dan penelitian tentang karya Lan Fang. Hasil penyimakan terhadap sumber data primer dan sumber data sekunder tersebut, kemudian dicatat untuk digunakan sebagai sumber data yang akan digunakan dalam penyusunan penelitian sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai.

  1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji novel Perempuan Berkalung sorban karya Abidah el-Khalieqy adalah deskriptif kualitatif. Pengkajian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu atau kelompok), keadaan fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi (HB. Sutopo, 2002: 8-10).
Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya (sastrawan). Artinya, yang dicatat dan dianalisis adalah unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya. Dalam penelitian ini penulis mengungkapkan data-data yang berupa kata, frase, dan kalimat yang ada dalam novel Perempuan Berkalung sorban karya Abidah el-Khalieqy. Permasalahan-permasalahannya dianalisis dengan menggunakan teori feminisme.
Alasan dipilihnya jenis pendekatan feminis karena kuatnya aspek kehidupan tokoh utama dalam usaha menuntut kesetaraan yang adil antara laki-laki dan perempuan. Objek penelitian ini adalah masalah-masalah dominasi patriarki yang menimpa tokoh utama, bentuk-bentuk kesadaran jender, dan bentuk-bentuk perjuangan dalam rangka melepaskan diri dari dominasi patriarki.
Sumber data yang digunakan adalah novel Perempuan Berkalung Sorban dan sumber data lain yang berupa tulisan ilmiah dalam Jurnal Perempuan dan internet. Proses analisis data yang digunakan berupa model analisis interaktif (interactive model of analysis), yaitu analisis data dengan menggunakan langkah-langkah: pengumpulan dan klasifikasi data, dan penarikan kesimpulan.

  1. Kajian Teori
a.      Sejarah Feminisme
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.

Gelombang pertama

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan.
Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat.
Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Gelombang kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu.
Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki.
 Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.
Perkembangan di Amerika Serikat
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental.
Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis. Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia. Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal.
Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
b.      Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Gerakan ini mendasarkan pada teori Marxis, dimana para penganutnya memperjuangkan perlawanan terhadap sistem sosial ekonomi yang eksploitatif terhadap perempuan dan penindasan terhadap perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam sistem produksi. Seiring dengan revolusi proletar yang berhasil meruntuhkan sistem kelas maka penindasan terhadap perempuan diprediksi juga akan hilang. Bila dicermati, seluruh aliran feminisme sama-sama berpendapat bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki karena kontruksi sosial yang menganut sistem patriarki.  Menurut mereka, konstruksi sosial merupakan salah satu mekanisme yang menyebabkan perempuan berada dalam keadaan tersubordinasi dibanding laki-laki.  Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan penuh dari perempuan.    

c.       Ketidakadilan Jender
Untuk memehami konsep gender itu sendiri, terlebih dahulu hendaklah melakukan pembedaan akan kata gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin itu sendiri merupakan pembagian antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan melalui sifat biologis yang dimiliki manusia, sedangkan gender itu sendiri merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, dimana sifat-sifat tersebut dikonstruksi secara sosial maupun kultural oleh berbagai media, sehingga dapat dikenal dan dikonsumsi oleh khalayak. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan jantan. Ciri dari sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, dimana ada pula laki-laki yang jantan, emosional, lembut, maupun perkasa, begitu pula dengan wanita ada yang kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya.
Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Dr. Mansour Fakih, 1996, hlm. 9). Selain itu, yang dimaksudkan dalam ideologi gender di sini, adalah segala aturan, nilai-nilai sterotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki, melalui pembentukan identitas feminim dan maskulin. Ideologis gender mengakibatkan ketidaksetaraan peran laki-laki dan perempuan, dimana posisi wanita selalu berada pada titik terlemah (Holzner, 1997).
Sistem kepercayaan gender ini mengacu kepada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas dan feminimitas. Sitem ini mencangkup stereotype perempuan dan laki laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki laki dan perempuan , sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan pola baku. Dengan kata lain, kepercayaan gender itu merupakan kepercayaan tentang bagaimana laki laki dan perempuan itu dan bagaimana pendapat tentang bagaimana laki laki dan perempuan itu seharusnya.
Dari berbagai pandangan gender tersebut ternyata dapat menimbulkan subordinasi terhadap kaum perempuan. Oleh karena subordinasi perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin maka kemudian lahirlah konsep gender. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari waktu ke waktu. Di Jawa dahulu kala ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi-tinggi, karena akhirnya kaum perempuan adalah sosok yang bekerja di dapur dan melayani kaum laki-laki. Bahkan pernah ada peraturan pemerintah bila laki-laki akan pergi belajar (keluar negeri atau jauh dari rumah), dia dapat menambil keputusan sendiri, sedangkan kaum perempuan yang hendak pergi belajar, haruslah seizin dari kaum laki-laki (suami). Praktik tersebut sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil. Disamping itu, banyak juga wanita terpelajar yang ingin menyumbangkan tenaganya dalam lapangan pemerintahan, tetapi karena mashi mempunyai anak kecil dan sebagainya, untuk beberapa tahun sukar bagi mereka untuk bekerja sepanjang hari di kantor (Nani Suwondo S.H, 1981). Hal tersebut juga menunjukkan adanya subordinasi perempuan dalam kaitannya bila ditelaah dari pandangan gender yang ada.

d.      Patriarki
Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. “Patriarchy (from Greek: Patria meaning father and arche’ meaning rule) is the anthropological term used to define the sociological condition where male members of a society tend to predominate in position of power; with the more powerful the position, the more likely it is that a male will hold that position.” (http://en.wikipedia.org/wiki/patriarchy). Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya. Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16).  Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior). Millet menyatakan bahwa muscular weakness tidak dapat digunakan sebagai alasan peletakan perempuan pada posisi inferior. Laki-laki dianggap memiliki fisik kuat. Tetapi kekuatan fisik itu bukanlah sebuah faktor penting dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Peradaban modern mampu menggantikan kekuatan fisik seperti, teknik persenjataan dan pengetahuan. Perbedaan yang lebih dalam antara laki-laki dan perempuan tampak karena masyarakat memperlakukan keduanya secara berbeda (1972: 27). Menurut Millet, institusi dasar dalam pembentukan budaya patriarki adalah keluarga, di mana ideologi patriarki terpelihara dengan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Sebagai unit terkecil dari patriarki, keluarga memberikan kontribusi besar dalam penguatan ideologi ini (1972: 33). Keluarga mendorong setiap anggotanya untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat yang menganut patriarki. Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Menurut Millet, ideologi patriarki disosialisasikan ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan komponen psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang berdasar pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu memberikan kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat, cerdas, agresif, efektif merupakan sifat yang melekat pada laki-laki, sedangkan tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak efektif merupakan sifat yang melekat pada perempuan. Kedua, sex role, merupakan komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis kelamin. Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin. Sehingga terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja domestik (domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga, status yang merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior dan perempuan inferior (1972: 26). Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan. Dia tidak perlu mendapatkan uang dari hasil kerjanya dan berakibat dia selalu tergantung kepada suaminya. Millet menyatakan bahwa ideologi patriarki tidak dapat diruntuhkan karena secara ekonomi perempuan tergantung pada laki-laki.
Ketergantungan itu terjadi dalam seluruh kehidupannya. Secara konvensional laki-laki merupakan sumber utama pendapatan dalam keluarga sedangkan perempuan merupakan pengurus rumah tangga. Laki-laki bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah sedangkan perempuan bekerja di dalam rumah untuk melakukan semua pekerjaan rumah. Perempuan tidak diijinkan mencari uang sendiri karena laki-laki menjadikannya sebagai property ketika mereka menikah (1972: 40). Selain itu, keluarga yang menganut sistem patriarki memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi kepada anak laki-laki daripada perempuan. Biasanya orang tua lebih mementingkan anak laki-lakinya untuk sekolah yang tinggi sedangkan anak perempuannya diminta di rumah. Sehingga anak perempuan kesulitan untuk mendapatkan akses pengetahuan. Sistem ini menurut Millet menjadikan kesempatan perempuan memperoleh pekerjaan lebih rendah dibandingkan laki-laki, sehingga perempuan tidak memiliki kapasitas ketika dirinya menikah meskipun ia mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Hal ini karena perempuan memiliki tanggung jawab ganda, yakni sebagai ibu yang harus merawat anak-anaknya dan istri yang melayani suaminya di rumah. Inilah yang mengakibatkan ketimpangan atau ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal (1972: 42). Ketimpangan atau bias gender terepresentasi melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra dan menggambarkan baik diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, pembagian kerja, stereotip, maupun kekerasan terhadap perempuan yang tertuang di dalamnya. Menurut Fakih dari analisis gender ternyata banyak ditemukan manifestasi ketidakadilan terhadap perempuan. Pertama, terjadi marginalisasi atau pemiskinan ekonomi. Kedua, Gender adalah sebuah bentuk perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat perilaku (behavioral differences) yang dikonstruksi secara sosial dan kultural dan berlangsung dalam sebuah proses yang panjang. Jadi, gender merupakan bentukan sosial, maka penempatannya selalu berubah dari waktu ke waktu dan tidak bersifat universal, artinya antara masyarakat yang satu dengan yang lain mempunyai pengertian yang berbeda-beda dalam memahami gender.
Gender berbeda dengan istilah seks. Seks merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang secara biologis melekat pada diri perempuan dan laki-laki. Oakley dalam Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 71-72. subordinasi berupa akses pendidikan yang rendah bagi perempuan. Selain itu, perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena pembawaan perasaan atau emosionalnya. Ketiga, pelekatan stereotip tertentu yang membatasi dan menyulitkan kaum perempuan. Keempat adalah perbedaan peran yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan. Kelima adalah tindak kekerasan fisik maupun mental terhadap perempuan. Hal inilah yang menimbulkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan (2001: 72-76).
Ketika hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan peran dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak dijamin maka terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Dalam sistem patriarki laki-laki memiliki kuasa penuh terhadap perempuan sehingga mereka dapat melakukan apapun yang diinginkan terhadap istrinya. Secara ekonomi perempuan tergantung kepada suaminya karena mereka tidak memperoleh uang atas jerih payah kerjanya. Menurut De Beauvoir, istri dianggap sebagai budak, sedangkan suami adalah tuannya. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (1989: xv).

e.       Penindasan terhadap Perempuan
Perempuan dalam masyarakat patriarki diletakkan pada posisi inferior. Mereka biasanya tidak mempunyai peran penting dalam masyarakat dan menjadi kaum marginal. De Beauvoir dalam “The Second Sex” menyatakan bahwa secara hakekat perempuan tidak diciptakan sebagai makhluk inferior tetapi ia menjadi inferior karena struktur kekuasaan dalam masyarakat berada di tangan laki-laki. Masyarakat melihat segala hal termasuk perempuan, dengan sudut pandang laki-laki. Laki-laki menciptakan imaji bagi perempuan dalam kedaulatannya. Imaji tersebut diciptakan sesuai kebutuhan mereka (1989: xx).
De Beauvoir juga menyatakan bahwa laki-laki menggunakan seksualitas sebagai alasan posisi inferior perempuan. Pada hakikatnya perempuan hanya sebagai objek seksual laki-laki (1989: ix). Sehingga perempuan sering menjadi korban penindasan seksual (sexual oppression). Mereka sering menjadi korban kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan, komoditikasi, dlsb. Seksualitas perempuan merupakan sesuatu yang harus disembunyikan karena tidak pantas untuk diperdengarkan ke masyarakat. Orang tua biasanya tidak menjelaskan mengenai perkembangan seksualitas perempuan dengan detail kepada anak gadisnya.
Millet menyatakan bahwa ada banyak hal tabu pada seksualitas perempuan. Misalnya, menstruasi dianggap sebagai hal yang rahasia dan kutukan Tuhan pada tubuh perempuan. Selain itu, perempuan diasingkan pada pondok di tepi desa pada kehidupan primitif. Selanjutnya ia mengatakan kebebasan seksual perempuan dianggap tabu dan mereka dituntut masih perawan sebelum menikah. Keperawanan dianggap sesuatu hal yang paling penting bagi perempuan. Mereka tidak diperbolehkan melakukan aborsi meskipun kehamilan itu berbahaya baginya atau mereka dipaksa melakukan aborsi yang berbahaya jika mereka belum menikah (1972: 47). Hal tersebut di atas dapat menjadikan penindasan seksual terhadap perempuan. Pada dasarnya sexual oppression pada perempuan terjadi di semua lini kehidupannya, bahkan mulai masa kanak-kanak sampai mereka dewasa. Pertama, anak gadis dan laki-laki memiliki tingkah laku yang sama di kehidupannya, mengeksplorasi dunia dengan keingintahuan yang sama, dan mengeksplorasi tubuhnya dengan jalan yang sama pula. Secara seksual, anak laki-laki dan perempuan memperoleh kesenangan yang sama dari penis dan klitoris mereka.
Anak gadis tidak memiliki penis dan mereka menganggap bahwa mereka memiliki tubuh lengkap. Tetapi kemudian anak gadis diperlihatkan berbeda oleh masyarakat dengan memberikan hak istimewa kepada laki-laki. Sehingga anak gadis menganggap bahwa perbedaan perlakuan oleh masyarakat diciptakan karena laki-laki dan perempuan berbeda secara seksual. Pada akhirnya anak gadis merasa inferior jika mereka bukan laki-laki (De Beauvoir, 1989: 3). Perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan mengakibatkan perbedaan sikap masyarakat terhadap keduanya. Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki dianggap kurang karena dia tidak memiliki penis seperti laki-laki. De Beauvoir menyatakan ketidakberadaan penis pada tubuh perempuan memainkan peranan penting bagi nasibnya.
Keuntungan utama dari penis adalah dapat dipegang dan memberikan kesubjektifan pada laki-laki. Selanjutnya ia menyatakan penis adalah simbol otonomi dan kekuasaan laki-laki. Permasalahan pada anak laki-laki adalah ketakutannya akan kastrasi (pengebirian atau pemotongan pada bagian penisnya) dan hal ini lebih mudah diatasi daripada perasaan perempuan akan organ seksualnya. Organ seksual perempuan berada di ‘dalam’ sehingga anak perempuan memperhatikan sesuatu yang terjadi di dalamnya (1989: 18). Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki disuguhi mainan boneka sebagai representasi wujud dirinya. Masyarakat biasanya memberikan mainan boneka kepada anak gadisnya sedangkan anak laki-laki diberikan mainan lain, misalnya pistol, mobil, dll.
De Beauvoir menyatakan boneka merupakan representasi seluruh tubuh, tetapi ia adalah objek yang pasif. Sebagai akibatnya, perempuan merepresentasikan dirinya dengan boneka. Mereka mencoba membuat dirinya cantik dan menarik sebagaimana boneka dan menjadi objek pasif. Mereka akan berpakaian cantik secantik boneka yang diimpikannya. Mereka belajar tentang bagaimana menjadi cantik dan mempesona seperti boneka. Kemudian mereka mengerti bahwa untuk menyenangkan laki-laki mereka harus cantik dan menarik. Ketika tumbuh dewasa, semua pikirannya tertuju pada obsesi menjadi cantik dan menarik. Mereka harus menarik laki-laki dengan kecantikannya. Kecantikan kemudian menjadi obsesinya. Tetapi label dan mitos kecantikan itu diciptakan oleh masyarakat di mana laki-laki lebih berkuasa (1989: 19).
Kategori kecantikan itu dilihat dari perspektif laki-laki. Mereka mengubah kepribadiannya untuk menjadi cantik di mata laki-laki. Dengan memberikan boneka pada perempuan, masyarakat telah menindas perempuan dengan konsep kecantikan ideal. Terlebih lagi perempuan selalu bermain dengan boneka seperti anaknya sendiri. Mereka belajar menjadi ibu. Mereka belajar merawat anak-anak yang merupakan tanggung jawab ibu. Pekerjaan perempuan sebagai ibu sudah dipelajari oleh anak gadis beberapa tahun sebelumnya ketika mereka masih belia. Inferioritas perempuan berlanjut sampai masa pubertas.
 Pengalaman pubertas perempuan lebih cepat daripada laki-laki. Fase ini juga membawa perubahan penting bagi anak gadis. Tidak seperti laki-laki yang mengalami pubertas dengan bangga, anak gadis menghadapinya dengan rasa malu. Ketika payudara dan rambut yang ada ditubuhnya tumbuh, mereka terkejut. Rasa sakit yang mengikuti perubahan ini juga mengganggunya dan puncak dari rasa itu ketika mereka mengalami menstruasi pertama (De Beauvoir, 1989: 58). Menstruasi pertama dianggap sebagai hal yang memalukan bagi perempuan. Perempuan biasanya merahasiakan kondisinya ketika menstrusi. Meskipun menstrusi adalah hal yang menyakitkan, mereka mencoba menutupinya dari orang lain. Mereka akan malu jika seseorang mengetahui kondisinya. Perasaan ini menimbulkan inferioritas bagi perempuan (De Beauvoir, 1989: 62).
Anak gadis diharapkan menjadi perempuan. Sayangnya, masyarakat patriarki menempatkannya pada posisi marginal. Anak gadis itu diharuskan melakukan tugas rumah. Mereka diharapkan tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga diajari menjadi perempuan seutuhnya dengan konsep feminin yaitu lemah lembut, pasif, dan penurut. Mereka harus menekan kata hatinya untuk memuaskan permintaan masyarakat (De Beauvoir, 1989: 231) Sexual Oppression pada perempuan berlanjut sampai dewasa. Sexual oppression akan lebih sering terjadi ketika mereka menikah. Perempuan diharapkan menikah. Menurut De Beauvoir, pernikahan dianggap takdir bagi perempuan. Masyarakat yang menganut budaya patriarki menganggap perempuan itu dinikahkan, direncanakan menikah, dan akan menderita jika tidak menikah (1989: 225).
Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki kebanyakan dijodohkan, sehingga dia tidak bisa memilih calon suaminya. Sebaliknya, laki-laki dapat memilih calon istrinya. Perempuan diharapkan dapat memberikan anak dan melayani kebutuhan seksual suaminya. Selain itu mereka juga mengurus rumah tangga. Mereka berpikir bahwa pernikahan adalah karir yang menguntungkan karena mereka akan mendapatkan dukungan ekonomi dari suaminya. Apa yang mereka lakukan hanya membuat suaminya senang dengan memberikan pelayanan seksual dan melakukan pekerjaan domestik (De Beauvoir, 1989: 231-232).
Kenyataannya anggapan ini hanya membuat perempuan semakin tergantung dengan suaminya. Hal itu sering menimbulkan kekerasan domestik dan sexual oppression tidak dapat diselesaikan. Ketika perempuan menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya biasanya pernikahan mereka tidak berdasar atas cinta. Mereka merasa terpaksa untuk menerima pilihan orang tuanya. Akibatnya pihak perempuan yang dirugikan. Nietzche yang dikutip De Beauvoir menyatakan bahwa cinta bagi perempuan tidak hanya komitmen tetapi juga penyerahan seluruh tubuh dan jiwanya tanpa syarat.
Sebaliknya jika laki-laki mencintai perempuan, mereka hanya menginginkan cintanya dan tidak ada hubungan timbal balik antara keduanya. Mereka tidak pernah berhenti mencari cinta dan kasih sayang dari laki-laki atau suaminya. Sehingga perempuan selalu merubah penampilannya agar dapat dicintai laki-laki (1989: 526). Firestone menggambarkan bahwa cinta adalah inti dari sexual oppression bagi perempuan. Dia juga menyatakan cinta adalah kekuasaan kultural laki-laki untuk mendominasi perempuan. Cinta bagi perempuan adalah segala-galanya. Kadangkala dia rela berkorban untuk seseorang yang dicintainya, sementara dia tidak mengerti jika cinta itulah yang membuatnya menderita (1979: 121). Hubungan seksual tidak dapat dipisahkan dari pernikahan. Hubungan seksual dianggap sebagai indikasi kebahagiaan dalam pernikahan. Namun kenyataannya, hubungan seksual kadangkala mengakibatkan sexual oppression bagi perempuan. De Beauvoir menyatakan ada dua bentuk sexual oppression pada perempuan yaitu keperawanan dan kenikmatan seksual.
Perempuan harus dalam kondisi perawan ketika menikah dengan laki-laki dikarenakan laki-laki ingin menjadi pemilik eksklusif dari tubuh perempuan. Mereka meyakinkan kalau perempuan tidak membawa benih yang buruk. Selanjutnya dia menyatakan bahwa keperawanan hanya untuk perempuan karena laki-laki memperoleh kenikmatan dari hubungan seksual pertama dalam pernikahannya. Perempuan tidak dapat merasakan kesenangan seksual dan hanya laki-laki yang selalu memperolehnya. Bahkan sebaliknya, perempuan akan mendapatkan beban fungsi reproduksi setelah mereka melakukan hubungan seksual (hamil) (1989: 244-245).

  1. Pembahasan
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Gerakan ini mendasarkan pada teori Marxis, dimana para penganutnya memperjuangkan perlawanan terhadap sistem sosial ekonomi yang eksploitatif terhadap perempuan dan penindasan terhadap perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam sistem produksi. Seiring dengan revolusi proletar yang berhasil meruntuhkan sistem kelas maka penindasan terhadap perempuan diprediksi juga akan hilang. Bila dicermati, seluruh aliran feminisme sama-sama berpendapat bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki karena kontruksi sosial yang menganut sistem patriarki.  Menurut mereka, konstruksi sosial merupakan salah satu mekanisme yang menyebabkan perempuan berada dalam keadaan tersubordinasi dibanding laki-laki.  Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan penuh dari perempuan.    

a.       Tokoh Annisa  dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban dalam persfektif feminisme marxis
Perempuan Berkalung Sorban merupakan salah satu novel yang paling berhasil menyuarakan gabungan isu tentang opresi (ideologis) terhadap perempuan, tubuh, seksualitas, dalam dampak kolonialisme. Annisa merupakan sosok tempat isu-isu tersebut dieksperimentasi dan secara dekonstruktif dimainkan menjadi metodologi strategis pengimbangan wacana falogosentris. Salah satu caranya adalah melalaui Diri dalam tubuh Annisa sebagai yang menuruti bukan nafsu melainkan gairah.  Annisa adalah sosok yang terkekang dan berusaha untuk memerdekakan dirinya, pembebasan Anisa ini dilakukan dengan membebaskan dirinya sesuka yang dia mau terutama dalam hubungannya dengan laki-laki. Dia tidak terikat oleh perjanjian yang mengikat dengan laki-laki. Kita bisa melacak pilihan kebebasan itu di masa kecilnya. Dalam pengakuannya, Annisa telah menghilangkan keterkekangannya dengan memulai membantah perintah Romonya untuk tetap hidup terkukung dalam pondok pesantren. Dalam kehidupan masa kecil ini hubungan kapitalis sudah mewarnai kehidupannya dimana kakak-kakak laki-lakinya boleh belajar naik kuda ia dilarang, ia disuruh untuk selalu membantu uminya mengurusi kegiatan dapur.
Ketidakadilan yang dialami anisa sangat mencolok tentang perbedaan kelas antara kaum laki-laki dan perempuan ketika dalam pemilihan ketua kelas disekolah anisa yang memenangkan voting atau pemilihan suara namun karena anisa seorang wanita dan dalam pandangan pesantren wanita tidak boleh memimpin laki-laki maka diputuskan teman laki-laki anisa dalam kelas yang menjadi ketua sedangkan anisa sendiri menjadi wakil ketua kelas.
Langkah Annisa di usia remajanya adalah sebuah perlawanan terhadap konstruk sosial yang memuliakan laki-laki untuk diberi keistimewaan oleh perempuan, sementara lelaki dengan mudahnya meminta seorang istri walaupun usianya masih sangat belia. Annisa memberontak ketika ia dinikahkan dengan paksa oleh orang yang tidak dicintainya, dalam usia yang masih sangat muda, annisa ingin memberontak.
Pemikiran ini berlanjut ketika Annisa menginjak dewasa, dirinya diberi wejangan tentang perkawinan oleh ayahnya. Dia menolak perkawinan yang memuliakan laki-laki ini dalam pemikiran feminis radikal menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, dengan pertama-pertama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing. Pemilihan untuk memaksa meneruskan sekolahnya selain untuk menyibukkan diri juga merupakan salah satu tindakan feminis yang menuntut kesetaraan gender yang dilakukan dengan cara menuntut ilmu di lembaga pendidikan.
Hal merupakan sebuah pemberontakan terhadap kemapanan patriarki. Dia telah memilih untuk memuaskan dirinya dengan memutuskan untuk melanjutkan sekolah lagi karena dengan sekolah ia akan lebih sedikit mengalami siksaan-siksaan yang dilakukan oleh suaminya. Dalam pemikiran feminis marxis, Annisa telah merebut kendali atas seksualitas perempuan, dengan menuntut hak untuk mempraktikan apapun yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan, hubungan seksual yang setara adalah yang saling memuaskan dan bernegoisasi untuk saling memuaskan dengan cara apapun.
Jika perempuan dalam konstruk sosial selalu dibayangi kekuasaan laki-laki.  Annisa telah melawan kekerasan ayahnya, sang pigur yang mewakili patriarki, membangun diskursus tertentu dengan menyebutnya tidak berbakti pada suami dan memosisikan Annisa sebagai yang teropresi secara ideologis. Bahkan kedua kakak laki-lakinya dalam konteks ini digambarkan sebagai representasi sosok yang maskulin yang juga berpihak pada patriarki.
Annisa dengan demikian telah melakukan perlawanan terhadap usaha patriarki ini.Pertama, melawan bapaknya yang nyata-nyata laki-laki. Kedua, Annisa juga harus berhadapan dengan kakaknya. Dan keduanya sesungguhnya adalah figur-figur yang harus dihormati karena posisinya dalam keluarga. Dalam konteks ini, kakaknya ternyata tidak sebagai yang seikatan dan sepenanggungan untuk melawan patriarki, untuk memperjuangkan kebebasan. Annisa  selalu melakukan resistensi, bahkan sering dirinya mendapkan tubuhnya menjadi laki-laki. Kualitas ini semakin menyempurnakan tahapan adaptasi Annisa dalam ruang diskursif yang patriarki. Annisa telah terkondisikan untuk menerima apa yang telah menjadi tugasnya bahwa ia harus menjadi seorang istri yang baik dan patuh pada suami. Berbicara tentang pernikahan, Annisa tampak agak masih separuh hati menerima konsep penyatuan sepasang manusia dalam institusi pernikahan. Anisa keberatan dengan definisi perkawinan seperti yang diwejangkan ayahnya kepadanya. Baginya pernikahan itu harus mengandung asas saling menguntungkan. Perempuan akan memberikan tubuhnya kepada laki-laki yang memenuhi kriterianya.
Harus ada pilihan atau memilih dan bukan sekedar dipilih oleh laki-laki. Keinginan diri harus menjadi kenyataan yang padanya segala pemaksaan dan sepihak harus dihapuskan. Dengan demikian seperti dalam pemikiran feminis marxis, perempuan harus dibebaskan dari peran gender pada tingkat kapitalis berusaha mewujudkan kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan akan memadukan feminin dan maskulin dalam keadaan yang mereka inginkan. Harus ada keselarasan dan keberduaan yang seimbang.
Keterusterangan dan perjuangan yang selama ini ia perjuangkan akhirnya tercapai setelah keputusan perceraian didapatnya dari samsudin yang sebelumnya telah memadukannya dengan cara poligami. Apa yang ia cita-citakan pun menjadi kenyataan setelah dia menikah dengan khudori orang yang sejak kecil dicintainya.

  1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif kajian ini yaitu feminisme radikal penulis memfokuskan kajiannya pada argumen yang berpendapat bahwa dasar ketidakadilan terhadap perempuan adalah patriarkat yang dianggap sebagai masalah yang universal yang mendahului segala bentuk penindasan terhadap perempuan. Masalah ini terdapat dalam novel perempuan berkalung sorban yang diwakilkan oleh tokoh utamanya yaitu annisa.
Kekerasan yang diterima oleh Anisa karena sistem kapitalis yang sampai sekarang masih mendominasi dalam rumah tangga ini dicerminkan oleh samsudin suami annisa dengan kekerasan seksual maupun kekerasan fisik terhadap annisa serta poligami yang dilakukan menandakan kedudukan laki-laki yang sangat mendominasi.









DAFTAR PUSTAKA

Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta : Niagara.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra : Sebuah Pengantar Komprehensif, terj.Harfiyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta : Jalasutra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Selden, Raman. 1985. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini, terj. Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought : Pengantar paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta : Jalasutra.
Welleck, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta. Jakarta : Gramedia,
El-Khalieqy, Abidah. 2009. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta:Arti Bumi Intaran.
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Tarawang, Yogyakarta.
Suwondo S.H, Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar