Senin, 14 Maret 2011

cerpen Expedisi Alam Enam Sekawan


Expedisi Alam Enam Sekawan
Matahari sore masih tersisa sedikit menembus pepohonan dijalan desa kecil itu. Sore itu Tumpang banyak sekali kesibukan jip-jip menunggu pendaki yang mulai berdatangan dengan berbagai macam tas carrier besar. Penampilan mereka mirip semua karena memang mempunyai tujuan yang sama : Mahameru.
Ada enam orang anak manusia yang memulai pendakiannya dengan menaiki jip Land Rover lama yang disulap seperti bak terbuka. Semua tas carrier yang besar ditumpuk berdesakan dengan para pendaki lain yang ikut dalam Jip. Hampir sekitar sepuluh sampai lima belas orang bisa muat berdiri berdesakan dalam jip, bahkan kadang-kadang ada juga yang harus duduk di atas atap depan jip. Keenam sahabat itu juga berdiri berdesakan diantara pendaki lain.
“Buk, buk....” Badan jip tiba-tiba dipukul keras.
“Wis, berangkat...”
Jip mulai berjalan perlahan, penumpang dan barang tampak berguncang-guncang. Angin sore di Tumpang menerpa wajah para penumpangnya. Jip terus berjalan menanjak melewati jalan desa, rumah-rumah sederhana berbaur dengan wajah penduduk desa yang selalu terbengong-bengong melihat jip.
Mulai menanjak naik keenam sahabat itu yaitu Dinda, Riani, Zafran, Genta, Ian, dan Ariel melihat kebun apel.
“Oh iya, kebun Apel. Apel malang itu mungkin dari sini ya?”
Riani tersenyum, baru sekarang ia melihat pohon apel dengan ukuran pohon yang tidak terlalu tinggi dan buah apel yang bergantung ranum.
“Baru sekarang gue lihat apel ada dipohon.” Ian menambahkan.
“Perjalanan ke Mahameru itu memang penuh kejutan”. Genta berfilosofis.
“Maksudnya?” Riani bertanya ke Genta.
“Ya, seperti sekarang ini. Pakai naik jip. Seperti petualangan sejati di alam terbuka pegunungan, bebas dari segala tekanan. Anginnya lain, hawanya lain, kanan-kiri jurang tanpa pembatas jalan. Pokoknya lengah sedikit Goodbye....” jawab Genta.
Jip masih mendaki dan berguncang-guncang. Udara dingin yang menusuk perlahan menyatu bersama angin sore, membuat sebagian penumpang mulai memakai jaket.
“Ini juga salah satu petualangannya...” genta dan ian tampak tersenyum dan mengangkat tangan ke atas.
“Kayu putih!” Tiba-tiba genta meloncat, mengambil segenggam daun dari pohon yang terjuntai rendah di atas jip yang masih merangkak mendaki.
“Apaan tuh?” Zafran tertarik.
“Tau minyak kayu putih? Cacuput oil?”
Zafran mengangguk.
“Ini daunnya,” Kata genta sambil membuka telapak tangannya. Daun hijau halus agak berserat terlihat digenggaman tangannya. “Cium deh”.
Zafran menerima daun yang diulurkan genta. Bau minyak kayu putih yang khas memenuhi penciumannya.
“Gilee, persis banget daunnya sama minyak kayu putih”.
Zafran yang masih terkesima memberikan daun itu ke riani, dinda, dan ariel. Karena memang dari keenam sahabat ini hanya genta dan ian yang pernah mendaki ke mahameru.
“Udah mulai kedinginan belum?” ian angkat bicara.
“Masukkan aja kesini”. Ian memasukkan daun kayu putih tadi ke dalam sweeternya, sehingga sweeter itu menonjol penuh daun. ”Hangat... Jadinya”. Kata ian sambil tersenyum. Keempat sahabatnya yang lain terbengong-bengong.
“Itu di depan ada lagi... siap-siap!!!” Genta berteriak melihat juntaian batang rendah di depannya.
“Hup!”
Semua meloncat meraih daun yang menjuntai rendah.
 Ariel yang paling tinggi mengangkat tangannya, memetik segenggam daun kayu putih dan menciumnya. Kehangatan sesaat membuat mata Ariel terpejam.
“Hangatkan? Alam memang baik sama kita ditempat yang dingin seperti ini kita dikasih daun hangat, bukannya kaktus atau nanas... hehehe...” Genta berujar, tersenyum ramah.
Tiba-tiba gerakan tubuh Genta terlihat panik, Genta menyiapkan kameranya. “Ian”. Genta menepuk punggung Ian yang sedang memasukkan daun kayu putuh ke jaketnya.
“Ada apa?”
“Bromo”
Hampir semua penumpang jip menoleh ke kiri, Bromo seperti muncul pelan-pelan diantara guncangan jip yang menanjak tertatih-tatih.
“Wooww...”
“Gilee...”
“Kereenn....” keenam sahabat berdesis kagum, penumpang lain terkesima dan geleng-geleng.
Zafran sampai bengong. Gunung bromo dengan asap tipis dari kawahnya terbentang dihadapan mereka, padang pasir memeluknya tenang, kabut-kabut kecil bawaan angin padang seperti melambai mencoba naik kelangit. Matahari sore menerangi setengah punggung gunung dari barat, membuat Bromo seperti terbagi antara terang dan gelap, menimbulkan sedikit getaran ditengkuk mereka. Riani mengeluarkan handycam dan mulai merekam.
“Itu Arjuna,” salah satu penumpang menunjuk sebuah gunung dikejauhan yang berselimut kabut putih dan matahari yang mengintip dipunggungnya. Arjuna berdiri dalam diam.
“Dan..
Itu...
Mahameru.”
Keenam sahabat itu dan seluruh penumpang jip terkesima dengan pemandangan di depan. Sesaat jip berbelok menanjak perlahan. Suara tarikan nafas takjub terdengar jelas di antara bunyi mesin jip. Mahameru berdiri megah dan agung seperti tertegun bijak menyambut mereka. Asapnya merengkuh langit sore dengan awan putih bergumpal yang melingkar seperti syal raksasa. Serombongan kecil awan jingga  yang beriring lebih rendah seakan menunduk memuja sang tanah tertinggi di jawa. Udara dingin yang mulai menusuk mulai memberi tahu kepada siapa mereka akan menuju, dimana mereka akan berdiri nantinya. Hutan hijau yang mengampit jalan desa kecil itu seperti berbaris memberi salam selamat datang. Keenam sahat itu menarik nafas panjang sekali.
“Fiuh..” Gelengan kepala mereka seakan pertanda hehilangan kata-kata yang harus di ucapkan.
Riani memejamkan matanya membawa keindahan itu kedalam hatinya.  Genta tersenyum ke semua temannya yang masih kagum. Sebuah suara berat menyadarkan mereka dari lamunan.
“Gilee.. masa masih begini juga ya?! Heran gue. Udah puluhan kali lebih gue ke mahameru, tapi kalau ngeliat puncaknya begitu, gue masih merinding.”
“Fiuh.. wahh... Subhanallah... Allahuakbar...”
Semua penumpang jIp menengok ke sosok lelaki berumur yang berkumis putih, dengan topi hutan yang masih saja geleng-geleng kepala. Dari logatnya bisa ditebak kalau Bapak ini juga pasti dari Jakarta sama dengan keenam sahabat ini. Si Bapak sepertinya tahu, kalau sedang menjadi perhatian, ia menoleh kesemua penumpang, lalu menyunggingkan senyum ke bapakan.
“Maaf, bukannya Bapak mau sok tahu. Disini...” Ia menunjuk dadanya “ Mahameru itu bukan hanya sebuah perjalanan alam, tetapi juga perjalanan sebuah hati.” Katanya tersenyum. “Dan yang masih bikin saya merinding sampai sekarang adalah kalau ternyata pemandangan ini baru sebagian kecil dari apa yang akan kita temukan disana. Sudah seindah ini tapi masih belum seberapa”. Si bapak menggeleng-geleng kepala, menaikkan alis matanya sedikit lalu tersenyum lagi ke semua penumpang.
Genta tersenyum. “Kalau begitu.. yang kita perlu sekarang cuma kaki yang akan berjalan labih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja”.
“Dan, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya”. Sambung ian.
“Serta mulut yang akan selalu berdoa”, dinda tersenyum manis.
Setuju!!!
Jalan aspal berbatu sudah menemui ujungnya. Mereka mulai memasuki desa kecil dengan beberapa rumah yang masih berpenerang lampu minyak. Malampun menunggu mereka diantara lembah, bukit kecil dengan pepohonan besar, dan beningnya danau berkabut diujung senja. Jip semakin berguncang keras.
Sekilas kabut malam turun seperti kapas di antara permukaan bening menggelap didepan mereka ditemani cahaya-cahaya lampu minyak kecil di kejauhan. Jip mulai melambat melewati pinggir danau dengan pohon pinus sebagai pagar alaminya. Malam menyambut mereka di Ranu pane. Lampu jip seadanya yang menerangi jalan desa di pinggir danau, seakan memberi sesuatu dimata mereka. bayangan puncak Mahameru yang mulai menghitam masih terlihat dikejauhan. Genta berujar mantap.”Kita sampai di Ranu pane desa terakhir. Dari sisi semuanya dimulai dengan melangkah”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar