Selasa, 29 Maret 2011

drama dan unsur-unsurnya


ð  Pengertian Naskah Drama
Naskah drama (lakon) pada umumnya disebut scenario, berupa susunan (komposisi) dari adegan adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbatasan sesuai dengan fitrahnya.
Seni drama modern di Indonesia menurut Rendra seperti yang telah dikutip Syamsul Edeng Ma’arif tim kehadirannya timbul dari golongan elit yang tidak puas ndengan komposisi drama rakyat dan seni drama trdisional. Naskah sandiwara mulai sangat dibutuhkan, karena dialog yang dalam dan otentik dianggap sebagai mutu yang penting.
Naskah drama adalah suatu cerita drama dalam bentuk dialog atau dalam bentuk Tanya jawab antar pelaku. Sedangkan penyajiannya  melalui dialog dan gerak para pelaku dari sebuah panggung kepada penoton. Dalam persiapan sebuah pertunjukan drama atau pun produksi felm maupun senetron, naskah drama adlah instansi pertama yang berperan sebelum asampai ketangan sutradara dan para actor. Naskah drama (lakon) bisa berdiri sendiri sebagai bacaan berupa buku cerita (klasifikasi sastra lakon).Ketika nashah itu akan dimainkan, biasanya di ketik kembali dalam format yag khusus untuk para pemain dan awak produksi.
Biasanya naskah drama ditulis untuk kepentingan pementasan yang diangkat dari isu-isu yang terjadi dalam masyaraktf. Namun ada juga naskah drama yang berupa adaptasi dari novel, puisi, cerpen dan karya sastra yang dapat diadaptasi yang dari keseluruh cerita itu di tulis ulang menjadi naskah drama.
Naskah drama (lakon) merupakan penuangan dari ide cerita kedalam alur cerita  dan susunan lakon. Seorang penulis naskah drama dalam proses berkaryanya bertolak dari tema cerita. Tema itu ia susun jadi sebuah cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa, yang memiliki alur yang jelas dengan ukuran dan panjang yang perhitungkan menurut kebutuhan sebuah pertunjukan. Bisa untuk satu jam duan jam atau lebih. Karena itu dalam penyusunannya harus berpegang pada azas kesatuan (Unity). Aristoteles (384-322 SM) menggariskan tiga azas kesatuan, yakni kesatuan waktu tempat dan lakon. Seni drama adalah tontonan yang ephemeral, artinya bermula dari suatu malam dan berahir pada malam yang sama.
Penulisan naskah lakon untuk panggung, p-erlu memperhatikan bingkai kesatuan waktu dan tempat. Sedang naskah lakon untuk sinema felm maupu sinetron perlu memperhatikan keterbatasan ruang dalam bingkai. Dalam naskah drama untuk panggung, pengertian bingkai watu dan tempat dijabarkan sebagai keharusan adanya upaya penyesuaian atau konsentrasiterhadap keberadaan panggung sebagai sarana utama penampilan lakon. Panggung (dengan segala kemingkinan tehniknya, tata cahaya, setting, tata suara, property, make-up actor dan tata peralatan yang ersedia) adalah persinggahan terahir dari karya drama yang dipentaskan.
Prinsip dari seni drama adalah peristiwa bersama atau peristiwa teater. Dalam sebuajh peristiwa teater, akan bekembang suatu atmosfir auatu tetateral, yang hanya hadir apabila naskahnya dimainkan dan dikembangkan suasanyanya oleh sebuah kelompok teater. Pada suatu tempat pertunjukan dihadapan sekelompok orang yang dating untuk menonton.
Kerjasama keempat untus (naskah, pemain, panggung dan penonton) harus mendalam dan lues, sehingga unsure-unsur bentik atau kaakter (yang ditunjuang keseimbangan struktur artistic, keselarasan atau harmoni dan relevansi) hadir sebagai nilai yang diidamkan.
Prinsip bingkai kesatuan waktu dan tempat mengacu pada pengertian bahwa panggung sebagai ruang atau sarana eksperesi, memiliki keterbatasan fisik.  Karena itu unutk mencari efek optimal yaitu tercapainya peristiwa teater yang ideal, para pemain harus mendapatkan “sarana laku dan peristiwa” yang didapatkan dari naskah drama. Naskah drama(lakon) ini harus mampu memenuhi kebutuhan transformasi dari bentuk-betuk idea-edea kedalam kenyataan laku teater.
Panggung hanyalah ruangan yang dibatasi oleh layer-layar dan dinding-dinding (scenery) yang menjadi gambaran latar belakang tempat pristiwa teater tersebut berlangsung. Sekalipun sekarang sudah ada perangkat teknologi pentas yang mempermudah penggantian-penggatian setting, tapi seberapa banyak kemungkinan perubahan setting (yng menunjuk tempat kejadian) hanya bisa berlangsung dalam waktu pertunjukan hanya 2 sampai 3 jam saja? Maka, kesatuan waktu dan tempat menjadi kendala utama dalam penyusunan naskah drama (lakon) untuk panggung.
Pada preode 90-an, para seniman Indonesia berpendapat karya seni harus memiliki daya ucap yang tegas dan terbuka. Karena itu lahirlah naskah yang berpihan dan subjektif. Nilai kontekstual dan spirit jadi sangat penting. Azas kesatuan masih tetap dipegang, meskipun bukan kesatuan waktu dan tempat, tapi jadi kesatuan ide dan bentuk. Sikap dramatikpun bergeser.
l Penulis Naskah Dan Karyanya
Dalam kondisi normal, sebuah naskah drama yang dipentaskan bersumber dari seorang penulis naskah. Ia adalah seniman pencipta yang sesungguhnya, sementara yang lainnya,; pimpinan produksi, sutradara, piñata artistic dan para actor adalah seniman penafsir. Tapi bukan berarti mereka kurang berperan, tidak sama sekali. Karena teater adalah seni membawaka peran, maka naskah drama (lakon) itu seperti sebuah partitur muusik untuk sebuah orkestra besar.
Sebagai seorang seniman, penulis naskah drama (lakon) menuangkan ide-idenya menurut dorongan dalam visi artistiknya, dengan berbagai kecendrungan bentuk dan gaya. Mungkin ia akan melahirkan naskah-naskah konvensional dengan segala tertib teknisnya, tetapi mungkin pula ia akan melahirkan naskah-naskah eksperimental dengan sosok bentuk yang lebih bebas. Tergantung dari karakter certa, karyanya akan hadir dalam betuk tragedy, komedi tragikomedi, melo drama atau farce, didalamnya bisa menggunakan sehari-hari, bahasa dialek, puisi dan lirik.
l Sutradara Dan Naskah Drama
Sutradara adalah penasir naskah drama menjadi sebuah pementasan. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa naskah drama bagaikan partitur musik di tangan dirigen. Untuk menjadi kenyataan teater, naskah tersebut mengalami transformasi kenyataan yang cukup panjang dan unik.
Jadi disini sutradara adalah pihak yang paling kritis dalam hal ini. Dari naskah yang baik sutradara akan mendapat ransangan-rangsangan kearah terbukanya konsep-konsep teateral. Karma itu sutradara akan mengkaji naskah secermat mugkin. Tema tersebut akan meliputi tema, titik pandang, semangat dan gaya penyutradaraannya.
Dari tema cerita bagi sutradara merupakan idea filosofis dari lakon, dimana dari kecendraungan tersebut memunculkan nilai subyektif yang berkembang menjadi kenyataan/ realitas dalam panggung. Yang menjadi nilai nilai kontektual yang terjadi dalam masyarakat masa kini.
Ada tiga tahapan yang harus dilalui sutradara dalam mewujudkan transformasi dan bentuk naskah menjadi sebuah pementasan teater. Yaitu penguasaan medan, perencanaan/ produksi dan proses produksi.
Dalam penguasaan medan tentu saja sutradara dituntut dapat menguasai medan dengan membuat kalkualasi negatif dan membuat perhitungan-perhitungan, yang diantaranya. Penguasaan naskah dengan berbagai tingkat kesulitannya, keterbatasan kemampuan pamain/ actor, keterbatasan sarana prasarana pementasan dan mayarakat penonton dengan berbagai tingkat apresiasinya.
Selain kalkulasi negative sutradara juga bisa membuat kalkulasi psitif. Kalkulasi positif tersebut adalah sejauh mana naskah bisa mendukung idealisme sutrada, kekuatan pemain dalam membawakan peran masing-masing, sarana pementasan yang memadai kebutuhan artistic dan komonikasi dengan masyarakat penonton diluar kegiatan pentas. Dari sana kemudian diharapkan terlaskanya tujuan pementasan  dengan baik dan sesuai dengan harapan.
Tahap kedua adalah tahap perencanaan/ praproduksi. Dalam tahapan ini merupakan tahap pengkajian tehadap isi/ misi yang terkandung dalam naskah yang diisyaratkan pengarangnya, yang dilanjutkan dengan menguraikan naskah menurut tahapan peristiwa dan suasana yang merupakan bangunan lakon yang secara structural harus kuat.
Sedangkan tahapan yang terahir adalah proses produksi dimana tahap ini merupakan tahap puncak atau tahap akhir. Dimana segala kebutuhan yang terkait dengan kebutuhan pementasan telah terpenuhi secara utuh dan sempurna yang memungkinkan pementasan terjadi.
l Aktor Dan Naskah Lakon
Ada dua fungsi yang terdapat dalam naskah drama. Yaitu, naskah drama dapat menberi inspirasi kepada para seniman penafsir dalam hal ini actor. Fungsi kedua adalah mensuplay kata-kata yang harus di ucapkan oleh si actor. Itu sebabnya naskah drama disebut buku kata-kata atau buku teks.
Ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh seorang actor untuk dapat menyatu dengan naskah drama. Diantaranya adalah  reading (membaca naskah dari awal sampai akhir) biasanya proses ini dilakukan sebelum pengketingan. Hafalan dialog merupakan bagian yang penting juga bagi seorang actor untuk dapat mendalami naskah. Perenungan, berdikusi, berlatih  dan berlatih lagi hingga teks itu bukan hanya dihafal, tetapi dapat dijiwai menjadi bagian dari nafas kehidupan, dialami dihayati dan akhirnya jadi bagian dari respon motorik actor.
Proses pengembangan pola laku bersumber dari instruksi-instruksi sutradara dan hasil study dari analisis-analisis sutradara. Analisis ini, analaisis struktur dan analisis sosok peran yang dibuat sutradara harus menjadi bagian  yang memberi peluang dalam mengembangkan laku siaktor pemeran.
Dari analisis-analisis itulah nalar dan intuisinya pun tergetar untuk menghayati secara mendalam, membawa laku secara pas dan membawakan peran dengan takaran yang berimbang dalam azas ketuhanan, keimbangan kesepadanan dan keselarasan
  1. Penokohan
    Penokohan/ karakter pelaku utama adalah pelukisan karakter/ kepribadian pelaku utama. Lutters ( 2006: 81) membagi tokoh/ peran menurut sifatnya dalam tiga hal berikut.
1.      Peran Protagonis
Peran protagonis adalah peran yang harus mewakili hal-hal positif dalam kebutuhan cerita. Peran ini biasanya cenderung menjadi tokoh yang disakiti, baik, dan menderita sehingga akan menimbulkan simpati bagi penontonnya. Peran protagonis ini biasanya menjadi tokoh sentral, yaitu tokoh yang menentukan gerak adegan.
2.      Peran Antagonis
Peran antagonis adalah kebalikan dari peran protagonis. Peran ini adalah peran yang harus mewakili hal-hal negatif dalam kebutuhan cerita. Peran ini biasanya cenderung menjadi tokoh yang menyakiti tokoh protagonis. Dia adalah tokoh yang jahat sehingga akan menimbulkan rasa benci atau antipasti penonton.
3.      Peran Tritagonis
Peran tritagonis adalah peran pendamping, baik untuk peran protagonis maupun antagonis. Peran ini bisa menjadi pendukung atau penentang tokoh sentral, tetapi juga bisa menjadi penengah atau perantara tokoh sentral. Posisinya menjadi pembela tokoh yang didampinginya. Peran ini termasuk peran pembantu utama.
Suban (2009:68) membagi karakter menjadi tiga bagian menurut kedudukannya dalam cerita.
                                      i.      Karakter Utama (Main Character)
Karakter utama adalah karakter yang mengambil perhatian terbanyak dari pemirsa dan menjadi pusat perhatian pemirsa.. Karakter ini juga paling banyak aksinya dalam cerita.
                                    ii.      Karakter Pendukung (Secondary Character)
Karakter pendukung adalah orang-orang yang menciptakan situasi dan yang memancing konflik untuk karakter utama. Kadang-kangan karakter pendukung bisa memainkan peranan yang membantu karakter utama. Misalnya sebagai orang keparcayaan karakter utama. Contohnya, sebagai sopir atau bodyguard.
                                  iii.      Karakter Figuran (Incedental Character)
Karakter ini duperlukan untuk mengisi dan melengkapi sebuah cerita. Mereka serin disebut figuran, karena yang dibutuhkan figuran saja. Mereka sering tampil tanpa dialog. Kalaupun ada, dialognya hanya bersifat informatif. Biasanya mereka digunakan dalam adegan-adegan kolosal dan keramaian. Atau jika tidak kolosal, biasanya mereka memegang profesi di dalam pelayanan umum, misalnya sopir taksi, pembantu, atau petugas di pom bensin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar